05 December, 2009

FANATISME TAK DIMENGERTI DALAM SEPAK BOLA

Arti fanatisme adalah sebuah keadaan di mana seseorang atau kelompok yang menganut sebuah paham, baik politik, agama, kebudayaan atau apapun saja dengan cara berlebihan (membabi buta) sehingga berakibat kurang baik, bahkan cenderung menimbulkan perseteruan dan konflik serius.

Mari kita Flash back, Khalayak bola mana yang tidak mengenal Liverpool dan sepak terjang supporternya, mungkin dapat saya disimpulkan sementara mengenai khalayak bola yang lahir di tahun 1960-an keatas hingga sekarang adalah yang sangat mengenal Liverpool dan supporternya.

Supporter Liverpool yang disebut dengan Liverpudlian adalah mereka yang mengaplikasikan secara nurani arti sebuah “You’ll Never Walk Alone” yang pada akhirnya mengikat mereka secara emosional. Khalayak bola pada umumnya cendrung mengenal Liverpool pada saat tragedi sepak bola terbesar di dunia itu terjadi yaitu Heysel di tahun 1985 dan Hillsborough di tahun 1989.

Perhatikan jarak waktu terjadinya tragedi tsb hanya berselang 4 tahun dan parahnya tragedi Hillsborough ini menyebabkan meninggalnya 96 orang Liverpudlian yang tidak berdosa. Sungguh sangat disayangkan karena kejadian ini bukan akibat bentrokan tetapi karena arus penonton yang melebihi kapasitas stadion.

Padahal saat itu Inggris sedang menjalani hukuman 5 tahun dari UEFA yakni tidak diperbolehkannya klub-klub Inggris ikut serta dalam kompetisi sepak bola tingkat eropa. Secara tersirat ataupun tidak tersirat, Liverpool sudah menyandang gelar sebagai biang kerok rusaknya budaya sepak bola. Oleh karenanya Inggris dalam menjalani hukuman tersebut berusaha menghilangkan potensi-potensi holiganisme.

Tapi Tuhan berkehendak lain, disaat Inggris sedang berbenah budaya sepak bola-nya, mereka dihadapkan pada sebuah kenyataan lagi tentang antusianisme dan fanatisme yaitu Tragedi Hillsborough di tahun 1989. Dan sekali lagi, Liverpool-lah yang menjadi korban dari antusianisme dan fanatisme Liverpudlian pada saat itu. Akan tetapi motif kali ini berbeda dengan Tragedi Heysel, dan Tragedi Hillsborough ini murni akibat antusianisme spontan yang menggerakkan massa dalam jumlah banyak utk mencoba masuk kedalam stadion yang tidak sesuai kapasitas.

Bisa kita bayangkan sendiri kepanikan pada saat itu, diantaranya ada yang meninggal karena tergencet pagar dan ada pula yang meninggal karena terinjak-injak. Liverpool pun berduka demikian pula masyarakat Inggris dan kita semua pun turut berduka. Kejadian ini memang ada sebab dan akibat tetapi kita tidak ingin mencari kambing hitam dalam tragedi yang menewaskan 96 Liverpudlian tersebut.

K ejadian ini menjadi bahan renungan kita semuanya dan dibutuhkan kematangan berpikir dalam mengendalikan rasa antusianisme yang berlebih karena bisa menjadi sebuah fanatisme yang salah arah. Rasanya kejadian ini menegaskan kembali bahwa sepak bola adalah sebuah Civil Religion. Dan Inggris pun terus membenahi budaya sepak bola yang sehat, salah satunya yaitu dengan tidak memasang pagar disekeliling stadion, karena mereka yakin para pendukung masing-masing klub sudah dibukakan hatinya atas Tragedi Hillsborough.

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, fanatisme juga berarti kesenangan yang berlebihan (tergila-gila, keranjingan). Sepenggal perjalanan kisah hidup Chairil Anwar adalah salah satu contoh saja. Dia lebih berat membeli buku sastra daripada membeli makanan untuk bertahan hidup, atau obat untuk menyembuhkan penyakit raja singa yang dideritanya. Lihat pula penggemar fanatik grup band Slank yang rela membentuk komunitas, lengkap dengan pengurus dan benderanya setiap distrik, meski tanpa bayaran. Dipastikan, mereka wajib hadir jika grup pujaannya melakukan konser di daerah mereka.

No comments: